Ironis, Lampung Penghasil Gula Kedua Terbesar Tapi Impor Raw Sugar
Ketua Tim Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VI DPR Dodi Reza Alex Noerdin mengemukakan, Propinsi Lampung telah menjadi penghasil gula terbesar di Sumatera dan terbesar kedua tingkat nasional setelah Jatim. Kedua Propinsi tersebut telah menyumbang 72% total produk gula nasional.
“ Tapi ironis, sebagai salah satu produsen gula terbesar yang memiliki perkebunan dan pabrik gula (PG), Lampung masih mengimpor gula mentah (raw sugar) dari luar negeri,” ujar Dodi saat melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan jajaran Pemprop. Lampung diwakili Sekretaris Pemprop Arinal Djunaedi, Kepala Dinas terkait dan Direksi PTPN 7, PT Sugar Labinta dan PT Adi Karya Gemilang, Senin (15/6).
Menurut Pimpinan Komisi VI dari FPG ini, hingga semester I/2014 telah mengimpor 19,1% dari total non migas. Kondisi ini menunjukkan bahwa areal perkebunan tebu di Lampung seluas 113 ribu ha patut dipertanyakan mengapa belum bisa memenuhi kebutuhan gula dalam negeri sehingga masih perlu impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
“ Gula merupakan komoditas penting, sehingga kenaikan harga eceran di tingkat konsumen dapat memicu kenaikan inflasi dan memunculkan kerisauan industry gula lokal sebagai akibat banjir gula rafinasi,” ungkap Dodi.
Dalam kaitan ini Komisi VI mengapresiasi kebijakan Pemprop Lampung yang menerbitkan Pergub No.59 tentang pengendalian produk impor. Langkah ini sebagai inisiatif untuk mengendalikan impor terutama komoditas strategis termasuk gula dan pada gilirannya akan melindungi petani tebu dan memberi kesempatan petani untuk mengembangkan produksinya.
Sekretaris Pemprop. Lampung Arinal Djunaedi mengharapkan kalau industry gula mau melaksanakan UU 39/2014 maka hentikan impor raw sugar pada April-hingga Oktober sebab merupakan masa panen raya petani tebu. Selanjutnya diberi kesempatan impor pada Desember-April itupun tidak boleh lebih dari 800 ribu ton. “ Impor dilakukan kalau kekurangan dan tidak mengganggu konsumsi. Dan untuk melindungi petani maka perlu diterapkan tarif impor, sehingga rakyat tidak dirugikan,” jelasnya.
Pada tahun 2014 lalu luas areal perkebunan tebu di wilayah tersebut tercatat 113.000 ha menghasilkan gula sebanyak 37% dari kebutuhan gula nasional. Komoditas lain seperti padi, jagung, nanas, dan kopi robusta juga berproduksi cukup besar memiliki andil besar dalam produksi nasional.
Dodi Reza menambahkan, masukan dari berbagai pihak baik Pemprop, BUMN Perkebunan maupun pelaku usaha perkebunan akan dibawa dalam rapat dengan pemerintah baik Menteri Perindustrian, Perdagangan maupun BKPM. “ Masukan dari Pemprop sangat baik dan jelas, karena itu Komisi VI tidak akan mendlolimi rakyat dan akan menindaklanjuti. Sepanjang tidak melanggar UU maka akan bisa menjadi pedoman dalam menjalankan industry gula berbasis tebu,” tegasnya.
Tim Kunker Spesifik Komisi VI dipimpin Dodi Reza Alex Noerdin (FPG) didampingi Insan Yunus (FPDIP), Dwie Aroem Hadiatie (FPG), Melani Leimena Suharli (FPD), Siti Mukaromah (FKB), Tifatul Sembiring (FPKS dan Nyat Kadir (F-Nasdem). (mp), foto : mastur prantono/parle/hr.